"Emang kenapa kalau hidupku nggak luar biasa?" "Apa salahnya menjadi biasa?"
Ketika teman sebaya sudah kesana-kemari dengan kabar bahwa gajinya sudah dua digit, membuka laman sosial media disambut dengan postingan banyak teman yang sudah menikah dan menyiapkan MPASI untuk bayinya, berjabat tangan dengan teman yang sudah mendapatkan pencapaian luar biasa dengan mengisi webinar, lebih jauh lagi ada yang sedang melihat katalog rumah dan membeli rumah, menengok kanan-kiri ada teman yang sedang membicarakan mobil barunya yang berwarna silver, belum lagi ada yang sedang mengikuti kelas dan melanjutkan sekolah, atau postingan teman sebaya mirror selfie dengan lanyard Gucci menggantung di leher dan bersepatu tory burch. Sementara aku, hanya duduk bersebelahan dengan kegagalan.
"Kenapa aku nggak bisa kayak gitu ya? Tapi emang apa salahnya kalau nggak kayak gitu? Apa salahnya menjadi biasa?"
Apa salahnya nggak punya gaji dua digit? Apa salahnya belum beli rumah? Apa salahnya belum beli mobil? Apa salahnya belum menikah? Apa salahnya belum punya anak? Apa salahnya kalau nggak melanjutkan sekolah? Apa salahnya kalau nggak ada lanyard Gucci yang menggantung di leher? Apa salahnya nggak bersepatu tory burch?
Apa salahnya menjadi biasa? Bukan tidak mau berusaha, hanya saja, ketika sudah berusaha sekuat tenaga, memang yang datang hanya hal yang menurut orang lain biasa saja.
Tidak ada yang salah dengan menjadi manusia biasa-biasa saja, Rifa. Semuanya tidak harus sempurna. Semua tidak harus selalu menjadi luar biasa.
Comments
Post a Comment