Skip to main content

Jiro Sushi

Jiro Sushi adalah restoran sushi di Jepang yang dikelola oleh seorang ayah dan anak selama 80 tahun. Setiap pagi, mereka turun langsung ke pasar untuk membeli ikan segar, membuat telur gulung dan menggulung sushi. Wajar rasanya kalau kita bertanya-tanya, "Apa mereka nggak bosen selama 80 tahun menggulung sushi?" Rutinitas mereka terus terulang selama puluhan tahun. Jiro Sushi juga tidak membuka cabang dan tidak memperluas restorannya walau Jiro Sushi sudah mendapat five star michelin. Mengutip kisah Jiro Sushi dari buku Ikigai karya Hector Gracia dan Francesc Miralles, ternyata membuat sushi adalah ikigai mereka. 

Ikigai adalah suatu konsep dimana menggabungkan empat unsur, passion, profession, vocation dan mission. Irisan antara apa yang kita bisa, apa yang kita suka, apa yang dunia butuhkan dan kita dibayar untuk itu. Ikigai juga bisa diartikan sebagai purpose in life yang nantinya akan membawa kita ke hidup yang lebih bermakna. 

Setelah membaca soal Jiro Sushi dan Ikigai, pendapat mengenai bekerja sesuai passion nggak lagi realistis untuk aku. Menurutku, hal pertama yang harus kita perhatikan adalah value kita mengenai diri sendiri dan bagaimana cara kita memandang diri kita. Karena bisa jadi pada akhirnya kita "dipaksa" untuk melakukan apa yang kita nggak suka, kalau hal itu terjadi tapi kita sadar akan value kita, kita nggak akan merasa value kita sebagai manusia ini berkurang. 

Menurutku hal yang paling realistis sekarang adalah nggak ada salahnya kalau kita mencoba apa yang kita nggak suka dan kadang memang kita harus mulai menyukai apa yang kita nggak suka. Setelah aku tahu konsep Ikigai, aku yakin rutinitas yang belum familiar untuk aku nantinya akan memberikan aku flow supaya aku bisa enjoy ketika aku melakukannya. Dan ketika aku enjoy melakukannya, aku akan bisa menemukan Ikigai aku sendiri. 

"Happiness is in the doing, not in the result" - Ikigai, Hector Gracia and Francesc Miralles.

Comments

Popular posts from this blog

Apa Salahnya Menjadi Biasa?

"Emang kenapa kalau hidupku nggak luar biasa?" "Apa salahnya menjadi biasa?" Ketika teman sebaya sudah kesana-kemari dengan kabar bahwa gajinya sudah dua digit, membuka laman sosial media disambut dengan postingan banyak teman yang sudah menikah dan menyiapkan MPASI untuk bayinya, berjabat tangan dengan teman yang sudah mendapatkan pencapaian luar biasa dengan mengisi webinar, lebih jauh lagi ada yang sedang melihat katalog rumah dan membeli rumah, menengok kanan-kiri ada teman yang sedang membicarakan mobil barunya yang berwarna silver, belum lagi ada yang sedang mengikuti kelas dan melanjutkan sekolah, atau postingan teman sebaya mirror selfie dengan lanyard Gucci menggantung di leher dan bersepatu tory burch. Sementara aku, hanya duduk bersebelahan dengan kegagalan. "Kenapa aku nggak bisa kayak gitu ya? Tapi emang apa salahnya kalau nggak kayak gitu? Apa salahnya menjadi biasa?"  Apa salahnya nggak punya gaji dua digit? Apa salahnya belum beli rumah...

Persimpangan Dilema

Dilema.  Setiap manusia pastinya pernah merasakan dilema, karena memang dilema ini mungkin salah satu bumbu kehidupan. Makna dilema di KBBI didefinisikan sebagai situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menentukan; situasi yang sulit dan membingungkan.  Lalu bagaimana jika kita diselimuti oleh rasa ragu? Bagaimana jika kita diharuskan memilih dari dua pilihan yang sulit? Bagaimana jika kita dihadapkan oleh persimpangan dilema? Apa sekiranya yang akan kita lakukan? Jika kita ada di persimpangan dilema, apa yang akan kita pilih? Terus berjalan, berhenti, atau berbalik arah? Mungkinkah belok kanan atau kiri?  Menurut Goldstein (2007) salah satu alasan pengambilan keputusan manusia dipengaruhi oleh  framing effect. Framing effect  adalah pengambilan keputusan dipengaruhi oleh bagaimana pilihan-pilihan dari penyelesaian masalah tersebut disajikan. Ada dua bentuk dari  framing eff...

Luka Hadir untuk Menyapa

Sedikit kesal melihat tubuh penuh luka, ada yang meninggalkan bekas tanpa rasa sakit, tidak jarang pula meninggalkan bekas dengan rasa sakit. Semakin sering terluka, semakin luka banyak tampak dan berkata "Hai." Ketika luka terlihat, ia seakan membuat aku melompat menuju waktu yang entah kapan, "Ah, ini luka yang aku dapat ketika aku terkena air mendidih" "Ah, ini luka karena tertusuk serbuk kayu."  "Ini luka yang aku dapat karena tersayat sebilah pisau." "Ini luka karena tersundut sebatang rokok."  "Luka ini bikin aku menangis tujuh hari depalan malam." "Luka ini paling sakit, luka karena jatuh dari pohon." Kemudian, aku mengerti, ketika luka mulai mengering hingga membekas, sesekali luka ingin menampakkan diri untuk menyapa. Ia berkata, "Aku luka karena terbakar, jangan bermain api lagi ya." "Aku ini luka yang baru sembuh, jangan sampai kamu jatuh lagi ya." "Ah, ternyata luka yang paling ...