"Emang kenapa kalau hidupku nggak luar biasa?" "Apa salahnya menjadi biasa?" Ketika teman sebaya sudah kesana-kemari dengan kabar bahwa gajinya sudah dua digit, membuka laman sosial media disambut dengan postingan banyak teman yang sudah menikah dan menyiapkan MPASI untuk bayinya, berjabat tangan dengan teman yang sudah mendapatkan pencapaian luar biasa dengan mengisi webinar, lebih jauh lagi ada yang sedang melihat katalog rumah dan membeli rumah, menengok kanan-kiri ada teman yang sedang membicarakan mobil barunya yang berwarna silver, belum lagi ada yang sedang mengikuti kelas dan melanjutkan sekolah, atau postingan teman sebaya mirror selfie dengan lanyard Gucci menggantung di leher dan bersepatu tory burch. Sementara aku, hanya duduk bersebelahan dengan kegagalan. "Kenapa aku nggak bisa kayak gitu ya? Tapi emang apa salahnya kalau nggak kayak gitu? Apa salahnya menjadi biasa?" Apa salahnya nggak punya gaji dua digit? Apa salahnya belum beli rumah...
Hasil tidak akan mengkhianati usaha. Setelah mengalami beberapa kali ( baca: sering) kegagalan, frasa ini sudah nggak relevan lagi untukku. Memang kenyataannya sering kali hasil juga mengkhianati usaha. Dari kecil, mungkin kita lebih familiar dengan keberhasilan. Keberhasilan dinilai sebagai hasil akhir dari segala usaha. Nanti kalau kamu berusaha keras, kamu pasti berhasil. Pasti berhasil, sebuah absolute statement yang tidak selalu tepat. Karena absolute statement "pasti berhasi" inilah yang membuat kegagalan menjadi hal yang asing. Kegagalan adalah hal yang tabu, hal yang seolah nggak boleh sama sekali terjadi. Kegagalan juga bisa saja terjadi walau kita sudah berusaha keras. Kegagalan juga hidup berdampingan dengan usaha. Kita sering kali merasa ketika kita berusaha, yang menunggu kita di garis akhir hanya keberhasilan. Lalu, ketika kenyataannya kita gagal, kita merasa asing dengan diri kita, kita merasa semua hal yang kita lakukan menjadi sia-sia,...